Monday, April 14, 2008

HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN

HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan

alasan firman Allah:

"Dan diantara nnanusia (ada) orang yang mempergunakan

perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia)

dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan

Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang

menghinakan." (Luqman: 6)

Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan pada

penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut

sahabat, yang dimaksud dengan "lahwul hadits" (perkataan

yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.

Mereka juga beralasan pada ayat lain:

"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak

bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..." (Al Qashash:

55)

Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk "laghwu"

(perkataan yang tidak bermanfaat).

Pertanyaannya, tepatkah penggunaan kedua ayat tersebut

sebagai dalil dalam masalah ini? Dan bagaimana pendapat

Ustadz tentang hukum mendengarkan nyanyian? Kami mohon

Ustadz berkenan memberikan fatwa kepada saya mengenai

masalah yang pelik ini, karena telah terjadi perselisihan

yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini, sehingga

memerlukan hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga

Allah berkenan memberikan pahala yang setimpal kepada

Ustadz.

JAWABAN

Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik,

merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum

muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal

dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.

Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung

kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada

kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika

memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila

berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang

menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana

menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu diiringi

dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka

juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik

pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan,

saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari

raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan

jelas.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian

selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara

mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik

dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan

dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan

nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya

bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama

sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan musik

atau tidak).

Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk

berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala

sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang

mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan

nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak

sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah

kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.

Kita perhatikan ayat pertama:

"Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan

perkataan yang tidak berguna ..."

Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in

untuk mengharamkan nyanyian.

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana

yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia

berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat

dari beberapa segi:

Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah

saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian

sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru

membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya

menerangkan kualifikasi tertentu:

"'Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan

perkataan yang tidak berguna untulc menyesatkan (manusia)

dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan

Allah itu olok-olokan ..."

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini,

maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi.

Jika ada orang yang membeli Al Qur'an (mushaf) untuk

menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan

olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti

inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali

tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang

tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan

untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga

orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca

Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau

menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang

tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain

halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan

kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia

lakukan."

Adapun ayat kedua:

"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak

bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."

Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan

nyanyian tidaklah tepat, karena makna zhahir "al laghwu"

dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki

dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam

lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:

"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak

bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:

"Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu,

kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan

orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)

Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap

'ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha

Pengasih):

"... dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka

mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63)

Andaikata kita terima kata "laghwu" dalam ayat tersebut

meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita

berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak

mewajibkan berpaling darinya.

Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk

sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan

sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak

menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah saw.

memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada

beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan

didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?" Beliau

menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk

kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah

berfirman:

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang

tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89)

Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala

terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati

yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada

faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan

hukuman pada nyanyian dan tarian?"

Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena

hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab

itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak

bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan

al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk

menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara

batin merupakan riya'. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa

Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia

meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan

oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang

yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: "Mereka

berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu

termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga?1 Allah

SWT berfirman:

"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan

kesesatan ..." (Yunus, 32)

Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
 
"Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan
sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia
niatkan."
 
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat
mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta'ala
berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk  menghibur
hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan
menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah
orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk
dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat
untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan
nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak
berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya,  orang yang pergi ke
taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan
membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah
warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan
perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."2
 
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang
mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada
satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut
(periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al
Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al
Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya."
Demikian  juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi
dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu  Hazm  berkata:  "Semua  riwayat
mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan
palsu."
 
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah  gugur,  maka
tetaplah  nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal.
Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih
yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan
riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar
pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika
itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu
Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada
seruling setan di  rumah  Rasulullah?"  Kemudian  Rasulullah
saw. menimpali:
 
"Biarkanlah  mereka,  wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini
adalah hari raya."
 
Disamping itu, juga tidak ada larangan  menyanyi  pada  hari
selain  hari  raya.  Makna  hadits itu ialah bahwa hari raya
termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan
dengan   nyanyian,  permainan,  dan  sebagainya  yang  tidak
terlarang.
 
Akan tetapi, dalam mengakhiri  fatwa  ini  tidak  lupa  saya
kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
 
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab
   Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan
   gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah
   menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk
   perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya,
   penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan
   semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu
   sendiri jelas menimbulkan dharar.
   
   Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji
   kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang
   bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan
   oleh Kitab Sucinya:
   
   "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah
   mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)
   
   "Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
   menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
   
   Dan Rasulullah saw. bersabda:
   
   "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu
   dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan
   pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah
   risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
   
   Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai
   atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
   
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.
   Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi
   penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang
   sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan
   nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan
   nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram,
   seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan
   yang tidak sopan.
   
   Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri
   Nabi saw.:
   
   "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
   berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya ..."
   (Al Ahzab: 32)
   
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf
   dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana
   menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam
   permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu,
   meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan
   bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan
   kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang
   luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan
   manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya
   apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat
   israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti
   ada hak yang terabaikan."
 
Bagi  pendengar  -  setelah  memperhatikan   ketentuan   dan
batas-batas  seperti  yang  telah saya kemukakan - hendaklah
dapat   mengendalikan   dirinya.   Apabila   nyanyian   atau
sejenisnya  dapat  menimbulkan  rangsangan dan membangkitkan
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya  tenggelam  dalam
khayalan,   maka  hendaklah  ia  menjauhinya.  Hendaklah  ia
menutup  rapat-rapat  pintu   yang   dapat   menjadi   jalan
berhembusnya  angin  fitnah  kedalam  hatinya, agamanya, dan
akhlaknya.
 
Tidak    diragukan    lagi    bahwa    syarat-syarat    atau
ketentuan-ketentuan  ini  pada  masa sekarang sedikit sekali
dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya,
temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan
orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan
nilai-nilai  yang  ideal.  Karena itu tidaklah layak seorang
muslim memuji-muji mereka  dan  ikut  mempopulerkan  mereka,
atau  ikut  memperluas  pengaruh mereka. Sebab dengan begitu
berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
 
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim  untuk  mengekang
dirinya,  menghindari  hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri
dari sesuatu  yang  akan  dapat  menjerumuskannya  ke  dalam
lembah  yang  haram  -  suatu keadaan yang hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
 
Barangsiapa  yang  mengambil  rukhshah  (keringanan),   maka
hendaklah  sedapat  mungkin  memilih  yang  baik,  yang jauh
kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian
saja   begitu  banyak  pengaruh  yang  ditimbulkannya,  maka
menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena  masuk
ke  dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama
seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos  dengan
selamat (terlepas dari dosa).
 
Khusus  bagi  seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih
besar. Karena itu Allah mewajibkan  wanita  agar  memelihara
dan  menjaga  diri  serta  bersikap  sopan dalam berpakaian,
berjalan, dan berbicara,  yang  sekiranya  dapat  menjauhkan
kaum  lelaki  dari  fitnahnya  dan menjauhkan mereka sendiri
dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari  mulut-mulut
kotor,  mata  keranjang,  dan keinginan-keinginan buruk dari
hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
 
"Hai  Nabi  katakanIah   kepada   istri-istrimu,   anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka
mengulurkan  jilbabnya  ke  seluruh  tubuh   mereka.'   Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
 
"... Maka janganlah kamu  tunduk  dalam  berbicara  sehingga
berkeinginanlah  orang  yang  ada  penyakit di dalam hatinya
..." (Al Ahzab: 32)
 
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan
dirinya   untuk   memfitnah   atau  difitnah,  juga  berarti
menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena
banyak   kemungkinan  baginya  untuk  berkhalwat  (berduaan)
dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya  dengan  alasan
untuk  mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak,
dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita
yang  ber-tabarruj  serta  berpakaian dan bersikap semaunya,
tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar  haram  menurut
syariat Islam.
 
Catatan kaki
 
1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran
  dan kesesatan, (ed.)
2 Ibnu Hazm, Al Muhalla.

No comments: